SEBUAH MUKENA
Aku tinggal di sebuah rumah yang
dulunya sebuah barak prajurit. Barak prajurit itu disulap menjadi beberapa
rumah yang bagian ruang tamunya hanya disekat dengan selembar triplek. Ya
itulah rumahku... kalian tentu dapat menebak apa pekerjaan ayahku. Benar....
ayahku adalah seorang prajurit rendahan yang hanya bisa tinggal di sebuah barak
bersekat yang tidak punya rumah dan tidak mampu mengontrak. Kami sekeluarga
sering ditinggal tugas keluar pulau bertahun-tahun dan pulang ke rumah hanya sebulan.
Bahkan, kata ibu saat ibu mengandungku sampai lahir ayahku masih bertugas.
Malah saat ayahku pulang seakan-akan aku tidak mengenalnya dan itu membuat
sedih ayahku.Tapi itulah resiko yang ditanggung oleh keluarga prajurit
Setiap hari aku sholat hanya dengan
memakai selembar jarit (selendang panjang khas Jawa). Maklumlah , terlalu berat
untuk membeli sebuah mukena. Dengan memakai beberapa cemiti , mbak Yuro
tetanggaku memakaikan jarit ke tubuhku.
Waktu itu aku tidak tahu itu sudah memenuhi syarat sholat atau tidak. Pokoknya aku ingin
sholat itu aja.Dalam setiap doaku aku hanya berharap aku ingin dapat mukena
tanpa minta kepada orang tua karena sesekali aku kesakitan saat beberapa cemiti
yang mengenai tubuhku. Diam-diam takmir masjid melihatku sambil tersenyum. Berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun berlangsung seperti itu. Alhamdullilah karena tubuhku
kecil tetep muat.
Alhamdulillah, sebelum jarit itu
sobek karena sering dipakai dan dicuci ada berita gembira aku memenangkan
sebuah lomba menulis cerita yang diselenggarakan oleh takmir masjid pada waktu
peringatan Maulud Nabi.